Monang Naipospos
Gondang batak, salah satu karya seni musik batak yang sangat kaya dan menjadi kekaguman bagi dunia. Repertoarnya yang beragam memenuhi segala kebutuhan seni yang digunakan untuk beragam kegiatan seperti pada upacara keagamaan, adat dan hiburan.
Modernisasi telah menggempur sendi kebesaran Gondang Batak. Kita hanya bisa melihat alat kesenian itu dimainkan dengan versi modern, repertoar gondang batak yang asli sudah jarang dimunculkan.
Pargonsi, pemain gondang batak muda tidak lagi mementingkan penguasaan ragam gondang batak, karena pada umumnya masyarakat batak lebih menginginkan irama modern seperti nyanyian bahkan dangdut.
Seniman tua gondang batak saat ini di toba pun sudah jarang memunculkan ragam gondang batak itu karena ketidakmampuan masyarakat mengenalinya.
Saat dimulai pendokumentasian gondang batak, sebagian yang masih diingat nama gondang itu dilakukan pengkajian makna dan pengertian judulnya. Walau agak sulit, akhirnya dapat direka pengertiannya ketika gondang itu dari awal tercipta, dimainkan, diminta dan diaplikasikan pada saat manortor.
Beberapa gondang yang dapat saya simpulkan atas kerjasama dengan para pargonsi, tersusun menjadi narasi singkat untuk memudahkan pemahaman kita akan makna dasar dari gondang itu dibuat dan digunakan.
GONDANG
MULA MULA
Semula Dia sudah ada, dan Dia memulai ada. Ada dunia, jagad raya beserta isinya, Ada bumi dengan manusia bersama mahluk pendampingnya. Dia Mula Jadi, Mula Tempah, mula dari segala sesuatunya yang semuanya harus tunduk kepadaNya.
(Gondang ini umumnya dimainkan saat mengawali acara “mamuhai ulaon” oleh hasuhuton. Sebelum “hasuhuton meminta Mula-Mula, pargonsi lebih dulu memainkan uantaian 7 gondang secara medley yang disebut “sipitulili”)
MULA MULA II (Paidua ni mula2)
Dia diberi anugerah oleh Mula Jadi. Dia diberi kewenangan mengelola bumi untuk pemenuhan kalangsungan hidupnya. Dia memulai karya dan usaha. Dia yang pintar menuturkan sembah “Deak Marujar”. Dia yang pintar menuturkan ilmu pengetahuan “Deak boto-botoan”. Dia yang pertama menghadapi tantangan, kegelisahan, tangis dan gembira. Dia mengajarkan cinta sesama. Dia yang pertama memohon ampun kepada penciptanya. Dia yang pertama menuturkan sembah sujud kepada yang empu-nya, Mula Jadi yang maha besar.
(Deak Parujar adalah Dewi pertama yang menjadi manusia pertama menghuni bumi, begitulah kepercayaan batak dulunya. Dialah yang memohon dan mengkreasi planet earth ini diantara planet-planet yang sudah ada menjadi huniannya setelah memutuskan mmenisah diri dari dunia dewata. Dia adalah memulai selanjutnya untuk kreasi hidup di planet yang dihuni manusia ini)
SIHARUNGGUAN
Jadilah manusia yang dicinta, pintar, bijak dan bestari. Yang memberi pencerahan hingga didekati, yang memberi kehidupan hingga ditemani. Yang memberi tuntunan hingga diikuti. Yang melakukan pembelaan dengan keadilan hingga percayai. Dibelakang, dia ditunggu, didepan dia dikejar, ditengan dia dikerumuni.
(Harungguan, adalah tempat berkumpul. Pekan disebut juga harungguan. Siharungguan artinya yang dikerumuni. Ini merupakan idealismenya pemimpin batak)
SIDABU PETEK
Demokrasi baru muncul di tanah batak. Pemimpin yang dulunya muncul berdasarkan karakter harajaon, pemimpin alam, berobah dengan menjagokan diri dan siap untuk dilakukan voting.
Petek, merupakan koin suara yang dimasukkan kedalam kotak suara dan selanjutnya dihitung. Mulai muncul rasa cemas, menang atau kalah. Butuh kesiapan mental, menerima kedua resiko.
Kalah, harus diterima menjadi kewajaran, walau tidak dapat dipungkiri akan muncul rasa kecewa. Hanya yang berjiwa besar yang dapat menerima kekalahan dan mengakui kemenangan kepada saingannya.
(Berdasarkan pengalaman Panuhari, seorang pargonsi yang ikut pemilihan kepala kampung di salah satu wilayah di Samosir. Dia menggambarkan gejolak antara semangat dan kecemasan mengawali penyertaannya. Fakta, dia harus menerima kekalahan dengan berlapang dada walau diawali dengan rasa kecewa.)
SIBUNGKA PINGKIRAN
Kegagalan akan menimbulkan kekecewaan. Kehilangan akan menimbulkan kesedihan. Larut dalam duka akan menenggelamkan semangat perjuangan.
Selagi masih dapat berpikir, mari memulai. Selagi masih memiliki kaki, mari berdiri. Ayunkan selangkah hingga kamu dapat berlari.
(Sibungka Pingkiran, adalah mengajak manusia untuk tidak tenggelam dalam kegagalan. Mengajak bergerak dinamis dengan mengutamakan kecerdasan, mampu menganalisa dan tepat membuat keputusan.)
HOTANG MULAKULAK
Hidup adalah perjalanan. Ke depan adalah tujuan. Namun dalam menempuh perjalanan itu tak pelak kadang harus melewati awal keberangkatan, meninggalkan, berkeliling. Tanpa disadari, tanpa dilakukan penghitungan, manusia sudah melakukan perjalanan menuju kedepan namun berulang melintasi titik keberangkatan.
(Hotang, adalah rotan yang tumbuh menjalar melalui tanah, ranting pohon lain, membelit berkeliling hingga melilit batang awalnya. Perjalanan jauh kemungkinan besar akan kembali ke asalanya. Hati yang menjauh juga diharapkan akan kembali kepada untaian kasih yang sempat tertinggal dan terabaikan)
ALIT-ALIT
Hidup bagaikan melintasi hutan belantara. Setiap persimpangan harus diingat dan dibuat tanda arah ke tujuan yang akan dicapai. Kelengahan membaca dan mengingat pertanda menentukan arah akan menyesatkan perjalanan, menghabiskan waktu dan melelahkan.
(Alit-alit, diciptakan Aman Jabatan seorang pargonsi dari Samosir berdasarkan pengalamannya yang tersesat dalam perjalanan. Yang seogianya ditempuh dalam 2 jam, dia tersesat selama satu hari.)
BINTANG SIPARIAMA
Bintang Sipariama sudah muncul. Masa panen pun menjelang. Semangat semakin bergelora, dibarengi kesibukan berbagai persiapan. Kebersamaan pun digalang untuk melakukan panen bersama, “siadap ari” bergantian memetik padi. Tidak ada guna rebutan jadwal, karena kematangan padi yang menentukan. Kegentingan hidup selama “haleon” pacekelik mencair, seraya mengucap syukur kepada Maha Kasih.
(Bintang Pari, adalah pertanda dalam hitungan bulan batak “sipahatolu”. Pada saat itu musim panen mulai marak di Toba. Bila tidak memiliki hasil panen pada bulan ini disebutkan kelaparan di musim panen “anturaparon di sipahatolu, atau anturaparon di sipariama. Biasanya dilontarkan kepada yang malas bekerja dan selalu mengemis menyambung hidup.)
BINTANG NAPURASA
Gemerlap cahaya bintang napurasa akan memerikan keindahan dalam hiasan langit malam. Gemerlap bintang adalah kodratnya yang hanya bisa dilihat di saat kelam. Gemerlap Bintang Napurasa tidak abadi setiap malam. Bila gemerlap datang dan menghilang ingatlah kepada bintang dilangit. Tak selamanya keinginan menjadi kebutuhan. Tak selamanya kebutuhan diukur dengan gemerlap.
(Bintang Napurasa adalah yang nampah jelas menjelang pagi hari. Kecemerlangan seseorang diibaratkan seperti bintang bersinar terang. Kecemerlangan adalah idaman setiap orang, namun ada sebagian masih dalam harapan sehingga lebih sering menjadi pengagum kecemerlangan orang lain)
HATA SO PISIK
Memikul muatan berat, bila lelah, istirahat adalah kesempatan pemulihan tenaga. Bila beban itu ada dalam pemikiran, adalah mustahil dapat diringankan dengan istirahat fisik, karena akan selalu muncul tak beraturan menjadi beban dalam pemikiran.
Seorang pemimpin kadang harus menyimpan rahasia yang tidak dipublikasikan kepada masyarakat untuk mencegah konflik.
(Gondang ini terinspirasi oleh Sisingamangaraja I ketika menerima amanah dari Raja Uti untuk tidak menyebutkan wujud fisik beliau. Tanda dari perjanjian itu kepada Sisingamangaraja I diberi tabutabu siratapullang, sian i ro tusi sumuang molo diose padan. Di tengah perjalanan saat Sisingamangaraja istirahat, beliau terkenang dan dalam hati menyebut wujud dari raja Uti. Beliau terkejut, dan tabutabu sitarapullang pun menghilang. Gondang ini lajim dipinta oleh para Raja untuk mengenang beban tugas mereka dan banyaknya rahasia yang harus dipendam namun harus diselesaikan dengan bijaksana. Irama gondang ini sangat beda dengan gondang “Marhusip” yang sering disebut selama ini Hata So Pisik.)
ALING-ALING SAHALA
Para Raja di kalangan Batak tempo dulu sangat menjaga etika moral, hukum dan adat istiadat. Kapasitasnya dalam menegakkan kebenaran di masyarakat adalah wujud dari kehormatan (hasangapon) dan menjunjung kewibawaan (sahala) pada diri mereka.
Bila nilai tak dapat dipertahankan maka “sahala” (karisma) akan ambruk. Ibarat tanduk yang tercabut dari kepala. Penyesalan tiada guna.
Para Raja Batak dulu mengalami degradasi dengan masuknya peradaban modern melalui penjajahan dan missi agama. Kewibawaan mereka dicabut, perilaku mereka dipandang sesat. Keturunan mereka satu persatu mulai menjauh.
Duka dihatinya tak ditangiskan. Keterpurukan wibawanya bukan karena kesalahan. Sahala mereka mulai menjauh. Mereka berseru melalui gerakan tari diiringi irama; “Mengapa ini harus terjadi?.
(Aling-aling Sahala, diartikan sebagai mengenang/memanggil kembali karisma diri mereka yang hilang dan permohonan maaf kepada Pencipta yang memberikan derajat kehormatan itu (dulu) kepada mereka.)
RAMBU PINUNGU
Kehidupan penuh dengan keanekaragaman. Manusia memiliki pahala masing-masing dan sifat berbeda dalam menjalankan kehidupannya. Bagi seorang pemimpin adalah pekerjaan penuh kecermatan dalam mempersatukan masing-masing perbedaan karakter manusia. Mereka butuh kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan untuk mampu mengemban tugas mulia, mempersatukan derap langkah masyarakat dalam kedamaian, kerukunan dan ketaatan dalam hukum.
(Rambu, adalah untaian pada ujung ulos. Pinungu, artinya dihimpun. Para raja dikalangan batak biasanya menggunakan “talitali” ikat kepala lambang kebesaran yang disebut “tumtuman”. Dari kain hitam yang kedua diujungnya ada rambu warna merah.)
BINDU MATOGA
Aku tanpa kamu tidak berarti. Kamu tanpa aku apakah ada arti? Kamu, aku dan dia adalah kita. Kita bersama memadu pikir demi kepentingan kita dan mereka. Hidup kita bangun, semangat kita galang, setiap sisi kita hempang dari serangan. Selamatkan jiwa dari tindakan buruk orang yang tidak sejalan. Lindungi diri dari serangan penyakit yang membahayakan. Lakukan kajian dimana sisi lemah yang dapat menghancurkan.
Kita adalah sama. Karena bersama kita tegar “toga”. Dalan semua sudut, sisi, waktu, kita catat dalam “bindu” halaman kerja, apa yang sudah kita buat dan apa yang masih perlu dilakukan tindakan. Semua demi keutuhan dan kebersamaan.
(Bindu Matoga. Digambarkan dengan garis segi empat bertajuk delapan sesuai dengan mata angin. Digambarkan sebagai penguasaan semua system alam dengan mencegah hal buruk yang dapat merusak keutuhan dan kesehatan. Nujum bindu matoga sering dilakukan peramal untuk mengetahui dari mana kemungkinan datangnya musuh, penyakit apa yang mungkin muncul. Tindakan apa yang harus dilakukan mengatasi masalah demi kesejahteraan masyarakat.)
SIDOLI NATIHAL
Masa muda bagi seorang pria penuh dengan gairah. Mulai memasuki area kompetisi menunjukkan eksistensi seorang perjaka. Mereka berekspresi penuh dengan tingkah polah untuk mendapat perhatian publik dan lawan jenisnya. Dengan dorongan sifat dinamis untuk mendapat pengakuan. Kadang, mereka salah dalam tingkah laku kemudaannya.
(Biasanya diperdengarkan saat Gondang Naposo dimana para pria menari menunjukkan kebolehannya penuh dengan gaya.)
TANDUK NI HORBO PAUNG
Seseorang yang memiliki kehormatan, adalah yang memegang teguh etika moral dan taat hukum. Dia terkontrol oleh penghormatan kepada dirinya itu dalam semua sikap dan perilakunya. Rambu ini membatasi kebebasan dirinya dalam setiap kesempatan, ibarat kerbau yang bertanduk panjang menjalani lorong sempit. Lolos dalam perjalanan yang penuh tantangan dan godaan adalah kemenangan baginya.
(Nama gondang ini dulunya disebut juga PARDALAN NI HORBO SISAPANG NAUALU. Seekor kerbau yang bentang tanduknya panjang sekitar satu meter. Lorong sempit yang disebut balubu atau bahal adalah lintasan segala ternak ke perkampungan. Kerbau itu kadang kesulitan akibat sempitnya lorong atau adanya dahan yang menjorok ke bahal.)
LILIT TU METER
Kecerdasan dan intelektual Batak sudah teruji sejak jaman dahulu kala. Pertanda dari kecerdasan mereka itu dapat kita lihat dengan bangunan rumah adat, gorga dan ulos. Mereka melakukan pengukuran dengan istilah “suhat” untuk panjang dan tinggi “lilit” untuk mengukur lingkaran.
Dengan datangnya alat ukur “meter” mereka semakin terbekali dan mendapatkan keseragaman ukuran. Ketika meter kayu digunakan, mereka kebingungan saat mengukur diameter karena tidak dapat melilit seperti kebiasaan mereka. Hingga mereka melakukan ukuran kepada tali kemudian mereka melakukan pengukuran dengan melilit.
Apa yang mereka hasilkan hanya dengan pengukuran “suhat” dan “lilit”? Apa perbedaan setelah menggunakan meter? Semua konstruksi, petakan sawah, saluran irigasi, planologi perkampungan yang mereka ciptakan sebelum mengenal meter saat ini masih abadi.
(Pendidikan modern hanya penambahan bekal intelektual mereka. Ini membuktikan bahwa mereka mampu beradaptasi dengan perkembangan tanpa harus menyebut mereka “bodoh, tertinggal, primitive” sebelum pendidikan formal hadir.)
TUKTUK HOLING
Beragam lambang kebanggaan manusia sejak muda hingga tua. Orang tua batak biasanya makan sirih. Bila gigi sudah makin lemah hati mengeluh, mereka butuh alat penumbuk sirih. Alat penumbuk dikenal setelah datangnya logam yang dibuat khusus menumbuk sirih. Kadang alat penumbuk itu dibuat beragam variasi yang indah dengan material tembaga dan perak. Ada juga yang menempahkan dengan lilitan penghias dari emas. Mereka membanggakan peralatan itu layaknya seperti perhiasan.
Alat penumbuknya dibuat dari besi tembaga keras yang kelak menghentak keras bagaikan patukan burung berparuh besi.
(Tutuk Holing, adalah nama burung yang berparuh keras yang dapat melobangi batang kayu keras untuk membuat sarang dan dan mencari makanan.)
PARSOLUBOLON
Hidup adalah perjuangan. Perjuangan tidak luput dari tantangan. Kebersamaan adalah pengumpulan kekuatan. Kesepahaman adalah akselerasi keragaman potensi diri dalam menjalankan misi bersama untuk sampai di tujuan.
(Solubolon, adalah sampan besar yang muat sekitar 12 orang. Parsolubolon adalah mereka yang sedang mengarungi perairan dengan sampan besar itu. Mereka memiliki pedoman dasar “masihilalaan” tenggang rasa. Bila pengendali kemudi tidak pintar, pengayuh akan kewalahan. Sebaliknya bila pengayuh tidak pintar, maka pengayuh lainnya akan kelelahan dan pengemudi akan repot. Akselerasi potensi “parsolubolon” akan mampu menghindari bahaya dari serangan ombak.)
SAPADANG NAUSE
Panganan utama orang batak adalah nasi yang terbuat dari beras berasal dari padi. Bila hasil panen mencukupi bekal satu tahun maka kekhawatiran pun sirna.
Bila bekal padi tidak mencukupi maka sapadang yang tumbuh liar di ladang pun dipetik.
Tidak ada kata kelaparan bila bijak mengolah hidup. Tidak ada yang hina bila kenyang makan tanpa beras. Ubi dan Sapadang adalah jalan keluar dari kemelut ketersediaan bekal beras yang terbatas.
(Sapadang adalah tumbuhan mirip gandum biasanya tanamn liar. Sapadang Nause adalah bijian yang bernas dan tua yang memberikan semangat bagi yang menemukannya. Sapadang diolah dengan telaten dan dimasak hingga nikmat dimakan sebagai pengganti nasi yang terbuat dari beras. Nause tidak mengandung pengertian “tumpah, berhamburan” tapi “sesak, padat, bernas, keluar dari” dalam kulitnya.)
SEKKIAN TALI MERA
Judi kadang membahagiakan, namun lebih banyak berdampak kesusahan. Senang saat permainan dijalankan, tapi kerugian bila menuai kekalahan. Mereka menghayal akan menang, mengharap mendapat giliran “ceki” penentu kemenangan. Bila kartu penentu warna merah muncul, hentakan kegembiraan muncul.
Pengalaman para penjudi selalu menyimpulkan, lebih besar kesusahan daripada kebahagiaan dari permainan judi. Badan tersiksa, pekerjaan terlantar, harta benda tergadai.
(Bedasarkan pengalaman penjudi kalangan masyarakat Batak jaman dulu yang selalu menghimbau agar terhindar dari ketagihan permainan itu dan bekerja dengan giat adalah yang terbaik.)
TORTOR
Tortor adalah gerakan tubuh mengiringi atau diiringi irama gondang. Pemahaman makna gondang dan untaian irama bagi yang pandai menggerakkan tubuh akan menghasilkan tortor yang indah.
Tortor batak sangat individual, merupakan ritual kehidupan menjadi persembahan kepada publik, lingkungan dan penciptanya. Jelas bukan merupakan hiburan.
Dari gerakan tortor, seseorang dapat melakukan komunikasi dengan publik, misalnya bila seseorang mengangkat tangan dan menunjukkan satu jari tangan kanan dan mengepal jari tangan kiri, artinya dia hanya memiliki seorang putra. Bila seorang penari meletakkan tangan keduanya diatas pundak, artinya semua anaknya dan perilaku anaknya serta kehidupannya masih menjadi beban dan tanggungjawab yang masih dipikul. Bila seorang penari menyilangkan tangan di dada, artinya dia sering menjadi sasaran cemohan, sering mendapat hambatan dan permasalahan lainnya. Bila seorang penari meletakkan kedua telapak tangan diatas kepala, artinya dia mohon perlindungan, belas kasihan dari manusia dan penciptanya.
Bila kedua tangan dirapatkan dipinggang dan telapak tangan dikepal mengarah kebelakan, artinya masih banyak rahasia hidupnya yang belum duberitahukan kepada orang lain.
Bila seseorang penari merentangkan tangan kekiri dan kekanan dengan telapak tangan terbuka kesamping artinya anak-anaknya semua atau sebagian besar sudah sudah mandiri dan menempati ruang yang luas di penjuru desa.
Bila seseorang merentangkan tangan kedepan dengan telapak tangan terbuka dan tangan kiri ditutupkan diperut, artinya menghimbau datangnya rejeki atau bantuan kerjasama untuk keberuntungan kepadanya. Bila tangan kiri rapat didada dan telapak tangan terbuka artinya dia menghimbau dengan tebuka menciptakan persahabatan dan kerukunan.
Bila tangan kanan dijulurkan kedepan dan telapak tangan duarakan juga kedepan serta tangan kiri ditutupkan di dada artinya mohon dihentikan segala perbuatan yang mencemari merugikan kepada dirinya.
Bila kedua tangan diarahkan kedepan dan telapak tangan terbuka keatas serta sering dilipat menutup artinya ajakan mari bersama-sama ajakan kepada semua untuk menari bersama, menjalin persahabatan dan mempererat persaudaraan.
Ini baru sebagian dari apa yang dipahami para ibu tua yang memahami tortor batak.
Pakem tortor batak dan pemaknaannya akan kita ulas kemudian setelah penelitian yang lebih dalam.
KREASI TORTOR DAN GONDANG
Ketika tortor telah menjadi hiburan, para penari dalam pesta adat pun tidak karuan lagi menunjukkan lenggak lenggoknya. Kadang melampaui tata krama tradisi adat batak, tentang kesopanan, kesantunan dan kehormatan. Setelah maraknya musik eropah mengiringi tortor pada pesta adat batak, pakem pun menjadi hilang, pemahaman gondang yang sebenarnya tidak lagi berkembang, bahkan sebaliknya yang terjadi.
Kreasi tortor untuk hiburan diupayakan keseragaman gerak. Ini memang menjadi bagian dalam seni pertunjukan. Generesi muda cenderung hanya melihat tortor hiburan dan tidak pernah lagi menyaksikan tortor yang sebenarnya yang dilakonkan para panortor yang sebenarnya.
Manortor dengan benar kadang dituding kesurupan. Kebodohan menjadi peluru peluru penumpas kebenaran. Tortor batak semakin erosi, seiring dengan hilangnya pemaknaan gondang batak itu.
Pernah (bahkan sampai saat ini) Gondang batak dirtuding sebagai ensambel untuk pemujaan berhala. Alat untuk memanggil roh orang meninggal. Panortor yang sering kesurupan.
Pada jaman Belanda, atas rekomendasi mission, gondang batak dilarang. Kemudian diberi kelonggaran untuk pesta adat dengan perijinan yang ketat. Penerapan ijin ini sempat berlangsung lama hingga masuknya musik barat. Musik barat untuk pesta adat tidak perlu mendapatkan ijin. Pada jaman kemerdekaan, gondang batak justru tersudut karena melanjutkan perlakuan ijin dalam kurun waktu lama.
Begitu dalamnya penistaan terhadap gondang batak, seiring itu pula keengganan orang batak untuk melakukan aksi penggalian nilai gondang batak itu. Banyak yang melakukan penelitian sebatas untuk tesis keilmuan, tapi belum banyak yang menemukan “roh”nya karena dilatarbelakangi refrensi keberhalaan gondang batak itu.