Kamis, 25 Agustus 2011

Berkat Kasih-Nya



Sumbul - Kabupaten Dairi, Kota kebesaranku


Kota Sumbul,
boleh dikatakan kota kecil nan sejuk. Yang mana bila menatap dari bukit Sitinjo (Taman Wisata Iman) akan kelihatan kota Sumbul dengan deretan permukiman memanjang dimulai dari daerah simpang tolu  hingga simpang siboras. 
sore hari menjelang datangnya malam, terasa hawa dingin yang sejuk yang membuat kita bergegas untuk menikmati secangkir kopi hangat ditambah dengan gorengan (pisang goreng, bakwan, tahu isi, dsb).
Hmmmmmmm... tak akan terlewatkan momen seperti ini.


Berkunjung ke Sumbul
Sumbul sudah dikenal banyak orang, mengingat kota kecil nan sejuk ini adalah daerah lintasan provinsi yang menghubungkan Provinsi Sumatera Utara dengan Provinsi NAD, sehingga tidak kalah asing lagi nama kota sumbul bagi kebanyakan orang.

Saya sebagai penulis yang sudah dibesarkan di Sumbul masih sangat merasakan eratnya rasa kekeluargaan disana. Terlihat ketika adanya acara baik sukacita maupun kemalangan.
antusias warganya sangatlah tinggi.

maju dan jayalah Sumbul.





Penulis
Invol Laristo Naibaho.




ULOS dalam Budaya Batak


Dikutip dari Waspada online  PDFPrintE-mail
Ulos itu budaya kami


(istimewa)
Ulos merupakan keterampilan seni yang menyatu dalam budaya Batak serta mendapat posisi istimewa, karena selendang adat yang unik itu menjadi identitas tidak terpisahkan dari masyarakat Tapanuli.

"Proses pengerjaan ulos tidak mudah dan membutuhkan ketelitian, ketelatenan serta keahlian khusus, sehingga tidak sembarang orang dapat membuat ulos bernilai seni tinggi," kata Rosliana Hutagaol, pengrajin Ulos di Desa Meat, Kecamatan Tampahan Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara.

Menurutnya, hanya lewat sentuhan tangan ahli maka ulos akan menjadi nampak lebih indah dalam perpaduan benang warna-warni yang berseni tinggi.

Dikatakannya, peranan Ulos akan terlihat semakin jelas, terutama saat penyelenggaraan acara adat, sebab fungsi kain tenunan ikat khas Tapanuli itu merupakan lambang ikatan kasih sayang bagi masyarakat Batak.

Ulos, kata Roslina, biasanya terdiri atas tiga bagian. Yaitu, dua sisi yang ditenun sekaligus, dan satu bagian tengah yang ditenun tersendiri dengan proses yang cukup rumit.

Bagian tengah ulos, lanjutnya, juga terbagi tiga. Bagian pertama, disebut sebagai badan, letaknya berada pas di tengah-tengah. Dua bagian lain, yakni ujung (tempat pigura lelaki disebut "pinarhalak hana" dan ujung tempat pigura perempuan disebut "pinarhalak boru-boru").

Dijelaskan, setiap pigura diberi aneka ragam lukisan, seperti "antinganting sigumang", "batuhi ansimun", dan lainnya.

"Profesi sebagai penenun ulos sudah saya geluti hampir selama 37 tahun, sejak masih gadis remaja hingga memiliki anak cucu seperti sekarang," kata Roslina, yang juga istri Kepala Desa Meat itu.

Ia mengaku, selain dirinya, penduduk di wilayah setempat juga banyak yang memilih bertenun ulos sebagai sumber mata pencaharian, dan mereka memasarkan hasil tenunannya ke kota Balige, ibukota Kabupaten, yang berjarak sekitar 12 kilometer dari desa dimaksud.

Dari dulu, kata dia, desa tersebut memang sudah terkenal dengan ulosnya yang bermutu tinggi. Keahlian membuat ulos mereka peroleh sebagai warisan turun-temurun dari nenek moyang yang tetap mereka pertahankan, karena hasilnya memang menjanjikan.

"Sehelai ulos jenis 'ragi hotang' berukuran panjang hampir dua meter dapat Saya kerjakan dalam waktu tiga hari dan setiap bulan bisa dijual hingga sepuluh helai ke pasar Balige, dengan harga berkisar Rp400.000,- per helai," kata Roslina.

Masih belum terlaksana